Beranda | Artikel
Suami Tidak Menafkahi, Istri Boleh Menggugat Cerai?
Sabtu, 3 Februari 2018

SUAMI TIDAK MENAFKAHI, ISTRI BOLEH MENGGUGAT CERAI?

Oleh
Ustadz Khalid Syamhudi Lc

Pemberian nafkah kepada istri dijadikan Allâh Azza wa Jalla sebagai salah satu sebab hak kepemimpinan seorang lelaki dalam rumah tangga, seperti dijelaskan dalam firman Allâh Azza wa Jalla  :

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allâh telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka [an-Nisâ`/4:34].

Imam Ibnu Katsîr  rahimahullah berkata dalam menafsirkan ayat di atas: “(Dengan sebab harta yang mereka belanjakan) berupa mahar, nafkah dan tanggungan yang Allâh Azza wa Jalla  wajibkan atas mereka seperti yang tersebut dalam kitab-Nya dan sunnah Nabi-Nya. Maka, pria lebih utama daripada wanita serta memiliki kelebihan dan keunggulan di atas wanita, sehingga pantas menjadi pemimpin bagi wanita, sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :

وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ 

“Para suami memiliki kelebihan satu tingkatan di atas para istri.” [al-Baqarah/2:228]

Kemudian Imam Ibnu Katsîr  rahimahullah berkata dalam menafsirkan ayat di atas,  “Para suami memiliki kelebihan satu tingkat di atas  para istri yaitu dalam keutamaan, dalam penciptaan (bentuk jasmani), tabiat, kedudukan, keharusan menaati perintahnya, dalam memberikan infak/belanja dan mengurus kemashlahatan serta keutamaan di dunia dan akherat sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala:

رِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allâh telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka (an-Nisâ`/4:34).” [Lihat Tafsir Ibnu Katsîr 1/610]

Sedangkan Imam Ibnu Jarîr dalam Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Ayil Qur`ân (6/687) :

Maksud  firman Allâh Azza wa Jalla  (Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita,), lelaki adalah pemimpin yang memelihara istri-istri mereka dalam pembinaan dan mengajak mereka melaksanakan kewajiban kepada Allâh Azza wa Jalla  dan diri mereka. FirmanNya: (oleh karena Allâh telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita)) maksudnya, dengan sebab keutamaan yang Allâh Azza wa Jalla berikan kepada lelaki atas istri-istri mereka berupa pemberian mahar, nafkah dari harta mereka dan mencukupkan kebutuhan mereka.

Sementara Syaikh‘Abdurrahmân as-Sa’di  rahimahullah berkata dalam Taisîr Karîmir Rahmân halaman 142:

Allâh  Azza wa Jalla memberitahukan bahwa (lelaki adalah pemimpin atas wanita)  maksudnya memimpin mereka dengan membuat mereka berkomitmen  melaksanakan hak-hak Allâh berupa mejaga kewajiban-kewajiban, menahan mereka dari kerusakan dan  memberikan  kepada mereka nafkah, pakaian dan tempat tinggal.

Oleh karena itu, Imam Ibnul Qayyim (wafat tahun 751H)  menyatakan bahwa sudah menjadi satu ijma’ Ulama bahwa suamilah  yang bertanggung-jawab memberi nafkah kepada anak-anak, bukan istrinya. [Zâdul Ma’âd 5/448].

Dari sini jelaslah bahwa memberi nafkah harta kepada istri adalah  satu  kewajiban  suami yang mesti ditanggungnya sendiri dengan baik dan sekaligus menjadi hak istri.

Akan tetapi, terkadang didapati dalam kehidupan nyata, seorang suami tidak memberikan nafkah harta kepada istrinya. Dalam kasus ini, apakah istri diperbolehkan menggugat cerai?.

Para Ulama menjelaskan bahwa suami yang tidak memberikan nafkahnya ada dalam dua keadaaan:

Pertama :  suami memiliki harta yang tampak yang memungkinkan istri mengambilnya untuk menafkahi dirinya, baik secara sembunyi tanpa sepengetahuan suami atau dengan sepengetahuannya, baik dengan sendiri atau melalui keputusan  hakim di pengadilan. Maka, dalam keadaan ini, ia tidak memiliki hak untuk menggugat cerai suaminya, karena dia masih bisa mendapatkan haknya tanpa harus bercerai.

Kedua : suami yang tidak memberikan nafkah memang tidak memiliki harta, baik itu karena ketidakmampuannya, atau  tidak diketahui  keadaannya atau karena kehilangan hartanya. Maka, dalam keadaan yang  kedua  ini, para Ulama berbeda pendapat dan yang rajih adalah pendapat mayoritas Ulama dari madzhab Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah yang memperbolehkan wanita menggugat cerai suaminya dengan dasar:

1. Firman Allâh Azza wa Jalla :

وَلَا تُمْسِكُوهُنَّ ضِرَارًا لِتَعْتَدُوا 

Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. (al-Baqarah/2:231). Dan  menahan wanita dalam bingkai pernikahan dengan tanpa nafkah adalah memberi kemudharatan kepadanya.

2. Sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ

Tidak boleh ada madharat dan tidak boleh memberi madharat (HR. Ibnu Mâjah )

Islam melarang dan mencegah adanya kemudharatan terhadap setiap orang.

3. Riwayat Abu Zinâd bahwa beliau berkata:

سَأَلْتُ سَعيْدَ بْنَ الْمُسَيِّبِ عَنِ الرَّجُلِ لَا يَجِدُ مَا يُنْفِقُ عَلَى امْرَأَتِهِ ؟  قَالَ : يُفَرَّقُ بَيْنَهُمَا. قَالَ: قُلْتُ: سَنَةٌ. قَالَ: نَعَمْ، سَنَةٌ

Aku bertanya kepada Sa’îd bin al-Musayyab rahimahullah tentang seorang yang tidak mendapatkan nafkah untuk istrinya? Maka  beliau  menjawab, “Dipisah antara keduanya”. Aku bertanya lagi, “Apakah ini sesuai Sunnah?”. Beliau menjawab, “ Ya, ini sunnah”. [Diriwayatkan oleh Imam ‘Abdurrazzâq ash-Shan’âni dalam al-Mushannaf no.12357 dan Sa’îd bin Manshûr no. 2022 dengan sanad yang shahîh]

Pendapat  inilah yang dirajihkan Syaikh Abu Mâlik Kamâl Sayyid Sâlim dalam kitab Shahîh Fiqh as-Sunnah(3/404), karena bisa menghilangkan madharat yang menimpa wanita, karena ketidakadaan nafkah harta baginya. Hukum ini juga berlaku bagi lelaki yang tidak menafkahi harta kepada istrinya karena ketidak mampuannya.

Oleh karena itu, diperbolehkan  bagi seorang istri  menggugat cerai dengan sebab tidak dinafkahi.. Gugat cerai ini dikenal dalam istilah syariat disebut khulu’. Dalam perkara ini, istri minta langsung kepada suami untuk membatalkan pernikahan dan memberikan pengganti berupa mahar atau yang disepakati. Apabila suami enggan, maka istri mengajukan gugatan cerai tersebut ke Pengadilan Agama untuk diselesaikan sesuai dengan hukum Islam agar bisa dihilangkan kemudharatan tersebut.

Semoga bermanfaat.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XX/1437H/2017M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/8407-suami-tidak-menafkahi-istri-boleh-menggugat-cerai.html